Hikmah Alawiyah
Image default
Kabar Mahya

Habib Utsman Bin Yahya, Penjagalan Babi, dan Nasionalisme

Sumbangsih anak bangsa kepada negara dan bangsa sebagai wujud nasionalisme mereka tak hanya didominasi melalui jalan angkat senjata melawan penjajah. Tapi lebih dari itu juga disumbang melalui jalan-jalan lain. Salah satunya adalah yang ditempuh oleh Habib Utsman bin Aqil Bin Yahya al-Alawi atau yang lebih dikenal dengan Mufti Betawi.

Pria yang mendapat pendidikan Islam di banyak negara ini hidup pada 1822-1914, di era Hindia Belanda. Sebagai ulama Betawi yang terpandang, Habib Utsman pada usia 22 tahuh diangkat Belanda sebagai Mufti Betawi dan honorair adviseur (Penasehat Kehormatan) untuk urusan Arab. Akibatnya banyak peneliti dan kalangan umat Islam menilai Habib Utsman terlalu akrab dengan Belanda.

“Bahkan sampai-sampai ada yang menyebut Habib Utsman sebagai antek kolonial. Ini sangat tidak pantas sekali,” kata Fathurrochman Karyadi, dalam diskusi yang berjudul “Nasionalisme dalam Spiritual Islam” di Kampus Unindra, Jakarta Timur, Senin 2 September 2019.

Pria yang tengah menyelesaikan S2 di UIN Syarif Hidayatullah, untuk Jurusan Pengkajian Islam, konsentrasi Filologi, itu mengatakan yang dilakukan oleh Habib Ustman adalah berjihad melalui konstitusi, yaitu dengan menjaga keputusan-keputusan atau aturan-aturan Pemerintah Kolonial agar tidak mencederai masyarakat Batavia kala itu.

Fathurrochman kemudian menceritakan salah satu sepak terjang Habib Utsman yang membela rakyat betawi. Saat itu ada kegiatan pemotongan babi secara illegal di sebuah sungai di Batavia. Tempat itu tentu saja mendapat penentangan dari masyarakat sekitar, sebab mereka memanfaatkkan air itu untuk berbagai kepentingan mereka, termasuk untuk berwudhu. Maka kemudian masyarakat mengadukan persoalan itu kepada Habib Utsman Bin Yahya.

Mendengar cerita itu Habib Utsman segera mengambil tindakan. Bersama salah satu anaknya, Habib Hasan, beliau pergi ke Istana Bogor untuk menemui pembesar Belanda. Habib Ustman bila menemui pembesar Belanda biasanya menggenakan pakian rapi dilengkapi dengan jas dan bintang tanda jasa dari Ratu Belanda, Wilhelmina, di dadanya.

Namun saat itu Habib Utsman tak meletakkan bintang jasa pemberian Kerajaan Belanda itu di dadanya melainkan di pantatnya. Melihat pakaian Habib Utsman yang tak biasa itu, penjaga Istana Bogor panik. Mereka lekas memberi tahu para petinggi Belanda. Tak kalah dengan penjaga istana, para petinggi Belanda pun kalang kabut.

Sampai di dalam, Habib Utsman dipersilahkan masuk ke dalam satu ruangan dan diterima pembesar Belanda. Beliau kemudian mencopot bintang tanda jasa yang ada di pantatnya dan diletakkan di meja. Pada kesempatan itu Habib Utsman meminta agar praktek liar pemotongan babi segera dihentikan dan bila tidak, beliau akan membuang bintang kehormatan itu.

Akhirnya Belanda mengikuti kemauan Habib Utsman dan menutup tempat penjagalan Babi di Batavia itu. Kisah itu kata Fathurrochman diceritakan oleh anak Habib Ustman yang ikut serta ke Istana Bogor, yaitu Habib Hasan bin Utsman Bin Yahya.

“Beliau berjihad dengan caranya sendiri. Dengan strategi-strategi yang sangat halus,” tutup Fathurrochman.