Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad dilahirkan pada 5 Shafar 1044 H (30 Juli 1634 M) di Subair, salah satu kota yang terletak di ujung kota Tarim, Hadramaut, Yaman. Ayahnya merupakan seorang laki-laki saleh dan bertakwa bernama Sayyid ‘Alawi bin Muhammad al-Haddad. Dari ayahnya inilah Habib Abdullah al-Haddad mendapat bimbingan agama dengan memperlajari al-Qur’an dan menghafalkannya. Di samping itu ia juga mempelajari ilmu-ilmu lain.
Pada masa anak-anak, Habib Abdullah al-Haddad menderita penyakit cacar yang mengakibatkan kebutaan matanya. Namun kondisi itu tak membuatnya putus asa. Ia tetap bersabar dan terus mendalami agama Islam dan beribadah pada masa kecilnya.
Kondisinya itu tak menghentikan beliau menjalankan shalat sunnah 100 rakaat setiap pagi hingga tiba waktu shalat zhuhur. Keterbatasan fisiknya tak mampu membatasi keluasan hati, rohani, dan pikirannya. Juga tak mampu meruntuhkan kesabaran beliau menghadapi segala sesuatu, bahkan diceritakan bahwa beliau selalu menyembunyikan segala macam cobaan yang dideritanya sampai akhir hayat.
Beliau bercerita kepada kawan dekatnya:
“Sesunggunya penyakit demam di tubuhku sudah ada sejak lima belas tahun yang lalu dan hingga kini masih belum meninggalkanku. Meski demikian tak satu pun yang mengetahui penyakitku ini, meskipun keluargaku sendiri”.
Tak hanya bersabar menghadapi cobaan dengan penyakit yang menimpa tubuhnya, Habib Abdullah al-Haddad juga sangat bersabar kala menghadapi perlakuan buruk dari sebagian orang kepada dirinya.
“Kami mendengar ada sebagain orang yang ikut memakan makanan kami tetapi mencaci kami. Meskipun demikian, kami tidak terpengaruh oleh cacian mereka sedikit pun dan kami tak peduli atas cacian mereka, bahkan kami memohonkan ampunan bagi mereka.”
Sungguh pun Habib Abdullah al-Haddad mendapat cacian dari sebagian orang, namun beliau tak membalas cacian itu, malah mendoakan mereka. Habib Abdullah al-Haddad juga tak memiliki perasaan dengki ataupun hasud sedikit pun kepada mereka yang telah menyakitinya.
“Setiap pagi hari dan sore hari aku tidak memiliki perasaan hasud dan dengki sedikit pun kepada manusia, bahkan kalau ada seseorang memegangku dan menempelengku kemudian ia melemparku keluar dari tanah ini, maka tidak muncul rasa dengki sedikit pun di hatiku terhadap orang itu.”
Meskipun hatinya diliputi dengan kesabaran, namun Habib Abdullah al-Haddad adakalanya juga marah. Tapi itu bukan berarti beliau lepas kendali. Dalam kemarahan, beliau tak akan mengucapkan kata-kata kecuali kata-kata yang benar.
“Sesungguhnya adakalanya aku marah, tetapi aku tidak mengatakan sesuatu kecuali yang benar, sebagaimana yang disabdakan oleh Nabi Muhammad SAW, ‘Adakalanya aku marah, namun aku tidak akan mengatakan sesuatu kecuali yang benar.’”
*Sumber : Buku “Mengenal Lebih Dekat al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad”.