Hikmah Alawiyah
Image default
Hikmah Kisah Kaum Shalihin

Tata Cara Maulid

Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW yang dilaksanakan pada bulan Rabiul Awwal telah dilaksanakan sejak 300 tahun setelah Nabi Muhammad SAW wafat. Kini setelah beberapa ratus tahun berlalu, peringatan Maulid tetap diperingati. Namun, apakah tata cara Maulid masih sama ataukah sudah berubah?

Pengasuh Pondok Pesantren Al-Fakhriyah, Ciledug, Tangerang, Habib Jindan bin Novel Bin Jindan mengatakan tak banyak yang berubah dari tata cara peringatan maulid sejak dulu hingga kini. Dengan tetap memegang teguh tata cara lama ini, diharapkan pengaruh peringatan Maulid pada umat Islam pada zaman dulu dan kini tetap sama. Menurutnya, bukan berarti cara baru tidak baik atau tidak bermanfaat, namun cara lama masih lebih terasa sisi kerohaniannya.

Yang membedakan, peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW pada zaman dulu dan sekarang, kata beliau adalah orang-orangnya. Seperti pepatah Arab “Al-majalis bil-jalis wal-makan bil-makin”, yang artinya kurang lebih, suatu majelis atau tempat itu secara khas ditandai dengan orang-orang yang duduk di dalamnya, atau yang menempati tempat tersebut.

Pada zaman dulu peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW kebanyakan dihadiri oleh rijalul- hadhrah atau para ahlul-hudhur. Yaitu, mereka yang hatinya hadir bersama Allah SWT dan Rasulullah SAW. Sehingga, kehadiran mereka ke majelis meskipun tak menyampaikan ceramah, tetap meninggalkan jejak yang kuat bagi mereka yang hadir bersama di majelis itu.

Contohnya Habib Ahmad Masyhur bin Thaha Al-Haddad yang sering keluar masuk pedalaman Afrika. Di pedalaman itu beliau membuat peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW. Peringatannya sangat sederhana dengan tata cara peringatan yang biasa dilaksanakan di tempat-tempat lain. Yaitu, diisi dengan pembacaan riwayat hidup Rasulullah SAW yang tertulis dalam kitab-kitab Maulid.

Anehnya, meskipun orang-orang pedalaman Afrika tak mengerti bahasa dalam kitab-kitab Maulid yang dibacakan itu, mereka tetap berdatangan. Mereka larut dalam lantunan Maulid yang merdu itu. Setelah itu, ratusan ribu di antara mereka kemudian mengikrarkan kalimat syahadat dan masuk Islam.

“Begitulah, bila sesuatu sudah membekas kuat di hati, bahasa lisan sering kali sudah tak diperlukan lagi,” kata Habib Jindan bin Novel Bin Jindan.

*Sumber: Majalah Alkisah No. 06/23 MAR -5 APR. 2009, Rubrik “Album Maulid”.