Hikmah Alawiyah
Image default
Kitab/Buku Baru

M. Asad Shahab dan PKI

Jam di dinding menunjukkan pukul 9 pagi, Kamis 13 Desember 1962 saat sebuah jeep tentara menghentikan kendaraannya tepat di depan kantor Arabian Press Board (APB) Jalan Salemba Tengah Nomor 19, Jakarta. Dua prajurit kemudian turun membawa map. Mereka bermaksud bertemu dengan pimpinan APB.

Pimpinan APB, M. Asad Shahab merupakan anak dari Ali bin Ahmad Shahab, salah seorang tokoh pendiri Jamiat Kheir. Pada awalnya Jamiat Kheir merupakan perkumpulan sosial yang kemudian menyelenggarakan pendidikan dengan mendirikan sekolah dengan nama yang sama. Sebagai sebuah perkumpulan sosial, organisasi ini menarik minat banyak kalangan untuk bergabung ke dalamnya dan menjadi anggotanya. Di antara mereka banyak yang kemudian menjadi tokoh terkemuka seperti K.H. Ahmad Dahlan, HOS Tjokroaminoto, dan H. Agus Salim.

Kembali ke cerita di atas. M. Asad kemudian menerima keduanya. Tak banyak bicara, dua tentara itu langsung menyerahkan map dan meminta tanda terima. M. Asad tak pikir panjang dan langsung teken tanda terima yang disodorkan anggota TNI itu. Berikutnya dua tentara itu pamit dan M. Asad pun membuka map yang tertutup rapat itu.

Setelah dibuka, map itu berisi surat perintah dari Presiden Republik Indonesia, Soekarno, berisi tiga poin:

1. Mulai hari penerimaan surat itu, kantor berita APB harus menghentikan semua kegiatannya.
2. Seluruh buku keuangan dan tata usaha diserahkan kepada kejaksaan Agung pada hari itu juga.
3. Pegawai, pekerja, staf redaksi, dan pimpinan pindah ke Antara.

Itulah hari terakhir APB. Media yang berjasa menyuarakan kabar kemerdekaan 17 Agustus 1945 ke penjuru dunia terutama di Timur Tengah itu kini digulung paksa. Jasa-jasa besar APB ternyata tak membuatnya dipertahankan sebagai salah satu media diplomasi dengan dunia luar.

Selain APB media lain juga banyak yang ditutup dan dilebur menjadi satu dengan Antara. Salah satunya adalah Indonesian National Press and Publicity Service (INPS). Seluruh karyawan ditampung di kantor berita Antara.

Ditutupnya banyak media termasuk APB tak lepas dari dominasi pers kelompok Partai Komunis Indonesia (PKI) dan simpatisannya di peta ideologi pers Indonesia 1957-1965. Hal itu merupakan konsekuensi dari meningkatnya pengaruh PKI dan Soekarno. Terutama setelah Soekarno mengubah Demokrasi Liberal menjadi Demokrasi Terpimpin pada 1956.

APB tak sepakat dengan penggabungan itu dan menganggap penggabungan itu adalah bentuk pengekangan kebebasan pers. Apalagi pada saat itu Antara dikuasai oleh kelompok kiri yang berpaham komunis. Maka para pimpinan APB sepakat membubarkan diri daripada bergabung ke Antara. Sebab, sejak komunisme semakin menguat, APB menjadi media yang beroposisi dengan PKI. Bahkan APB menjadi yang paling vokal melawan PKI, karena memandang ideologi komunis dapat mengancam keamanan negara. Sebagai konsekuensinya, M. Asad banyak diserang oleh media-media PKI.

Setelah tak ada APB, M. Asad kemudian menerbitkan majalah mingguan Pembina. Dengan majalah ini M. Asad kembali melancarkan protes terhadap kelompok kiri. Artikel-artikel yang ditulis cukup keras mengkritik pemikiran kelompok komunis. Hal ini membuat PKI semakin berang.

Akibatnya, M. Asad mendapat banyak serangan balik dari media terbitan PKI. Majalah Pembina yang tersebar dari Aceh hingga Papua itu juga banyak menyerang kebijakan Pemerintah yang condong membela kelompok komunis. Bahkan Pemerintah menangkapi tokoh-tokoh politik dan wartawan yang menentang PKI, di antaranya Sutan Syahrir, M. Natsir, HB. Yasin, BM. Diah, Muchtar Lubis, dan Buya Hamka.

Terdengar desas desus bahwa M. Asad merupakan target penangkapan selanjutnya. Maka mengikuti saran teman-temannya M. Asad kemudian meninggalkan Indonesia secepat mungkin. Pada 21 Juni 1965, M. Asad terbang ke Jerman dengan alasan berobat. Agustus 1965 M. Asad terbang ke Maroko. Dengan pengalamannya sebagai wartawan dan penulis berbahasa Arab, M. Asad dapat menyesuaikan diri dengan mudah.

Di Maroko itu M. Asad menerima kabar peristiwa pemberontakan G30s yang gagal dilancarkan. Setelah peristiwa itu PKI dibubarkan dan rezim berganti, namun M. Asad masih belum yakin untuk pulang ke Indonesia. Dia kemudian ke Arab Saudi untuk berkerja di Rabithah al-Alam al-Islami.

*Sumber: Buku Sang Penyebar Berita Proklamasi RI