Hikmah Alawiyah
Image default
Kolom Tamu

Antara Wahdatul Wujud dan Tasawuf Falsafi

*Oleh : Hamid Ja’far al-Qadri

Manunggaling kawulo gusti adalah ungkapan yang sempat membuat geger dizaman wali songo, Syekh Siti jenar divonis mati oleh para wali gara-gara ungkapannya itu, mereka menilai bahwa Siti jenar telah keluar dari islam karena mempunyai keyakinan yang dikenal dengan istilah wahdatul wujud. Kejadian seperti ini pernah terjadi pada al-Hallaj yang dipancung gara-gara ucapannya ”Ana al-Haq”. Syahrawardi[1], penggagas filsafat aliran isyraq juga tidak lepas dari fonis mati gara-gara pemikirannya yang dinilai telah mengarah pada konsep wahdatul wujud.

Wahdatul wujud adalah sebuah ajaran yang meyakini penyatuan wujudnya tuhan dengan wujud makhluk, aliran ini berkeyakinan bahwa wujud Allah dan makhluknya satu, istilah lain dari kesatuan wujud adalah hulul hanya saja kerangkanya agak berbeda namun pada subtansinya sama. Ajaran ini dinisbatkan kepada beberapa sufi terkenal seperti Muhyyidin Ibn Arabi, Umar Ibn al-Farid, al-Hallaj dan Abu Yazib al-Bustami, bahkan Imam al-Ghazali dan al-Junaid tidak lepas dari tuduhan bahwa keduanya juga mendukung dan mengiyakan ajaran ini.

Beberapa waktu yang lalu penulis sempat berdiaolog dengan seorang pemuda asal indonesia yang mengujungi Tarim dalam rangka menyelesaikan tesisnya, penulis sempat tercengang ketika pemuda intelek ini berkata ” saya kesini bukan untuk mencari tasawuf amali atau tasawuf sunni namun saya ingin belajar banyak tentang tasawuf falsafi, yaitu ajaran pemikiran tasawuf yang membenarkan ajaran wahdatul wujud, Imam Ghazali sendiri dalam kitab Misykat al-Anwar juga menspot ajaran ini, bahkan tidak sedikit dari tokoh Thariqah Alawiyah yang mengikuti jaran ini”. Ini bukan satu-satunya pemuda yang mempunyai jalan fikiran seperti itu, di Indonesia tidak sedikit para pemuda yang menelan mentah-mentah ajaran ini tanpa mengkajinya secara detail. Embel-embel intelktual, filsafat dan pemikiran lebih berpengaruh pada sebagian pelajar atau mahasiswa dibandingkan hasil kajiannya sendiri. Disinilah penulis akan mencoba mengkaji hakekat konsep wahdatul wujud dengan arti kesatuan wujud dan hubungannya dengan filsafat.

Tasawuf falsafi ?

Wahdatul wujud menurut sebagian orang adalah subtansi dari ajaran tasawuf falsafi, padahal istilah wahdatul wujud dan istilah filsafat adalah dua istilah yang kontradiksi, tidak seorangpun dari para filusuf baik itu yang sufi ataupun yang bukan, yang mengatakan adanya wahdatul wujud, para filusuf modern dan filusuf klasikpun tidak ada yang membenarkan ajaran ini. Karena para filusuf adalah orang yang sangat getol dalam menjauhkan dzat tuhan dari hal-hal yang bersifat materi dan yang mendekati materi, dan oleh sebab itulah Imam Ghazali menganggap Aristoteles kafir, Aristoteles berlebihan dalam menjauhkan tuhan dari materi. Dia berpendapat bahwa tuhan itu hanya mengetahui sesuatu secara global (kulliyat), tuhan tidak mengetahi sesuatu secara terprinci (juziyat), karena juziyat itu selalu berobah dan apabila tuhan mengetahinya maka pengetahuan tuhan itu juga berobah. Aristoteles juga berkata bahwa Allah itu sama sekali tidak berhubungan dengan alam dan bahkan tidak mendekatinya karena Allah itu mutlak (absolut) dan alam terbatas, sedangkan suatu yang absolut tidak mungkin disatukan[2] .

Filsafat sendiri tidak jauh berbeda dengan ajaran tasawuf, yaitu mencari hakekat kebenaran dan sampai pada puncak makrifah, dan hal ini tentu tidak hanya dicapai dengan pemikiran belaka, namun harus dengan riadhah dan menjahui hal-hal yang bersifat materi, meski dalam dunia filsafat ada aliran filsafat Hegel yang dikenal dengan filsafat dialektika. kemudian timbul sebuah sekte baru dalam aliran ini yang disebut dengan aliran dialektika matrealism yang terkesan merasionalkan materi, namun aliran ini sangat rapuh dalam konsep pemikirannya, DR. Muahammad Said Ramadhan al-Bhuti telah mematahkan pemikiran ini dalam bukunya Naqd al-Jadaliah. Penulis tidak sedang membicarakan masalah ini, namun penulis hanya ingin menjelaskan bahwa difinisi filasafat menurut para pakar filsafat klasik itu sendiri tidak jauh berbeda dengan difinisi tasawuf menurut para arifin. Sehingga pembaca bisa faham bahwa konisep tasawuf falsafi yang selama ini dikenal sebagai kerangka dari pemikiran wahdatul wujud sama sekali jauh dari realitas ilmiah.

Berikut ini adalah difinisi filsafat menurut filusuf klasik Plato, menurutnya filsafat adalah berakhlak dengan akhlak Allah SWT, kata-kata ini sama dengan difinisi tasawuf menurut kebanyakan sufi.

Selanjutnya Plato berkata ” pemilik jiwa falsafi (fitrah falsafi) adalah orang-orang yang yang haus dengan berbagai macam ilmu pengetahuan untuk mengetahui hakekat wujud yang kekal, wujud yang tidak berobah dengan perputaran waktu dan kondisi, mereka sangat merindukan hakekat wujud yang abadi ini, mereka tidak rela dengan pengganti apapun” plato juga berkata ” para filusuf terjaga dan tidak dikotori oleh sifat tamak, karena mereka adalah penghuni bumi yang paling menjauhkan diri dari hal-hal yang membawa pada cinta harta”[3] begitulah komentar Plato tentang filsafat dan filusuf, dimana kita juga akan menemukan difinisi yang sama tentang tasawuf dalam duni sufi. Lantas dari mana pemikiran bahwa tasawuf falsafi adalah tasawuf yang menganut faham wahdatul wujud? Dan kalau memang arti tasawuf dan filsafat tidak jauh berbeda maka istilah tasawuf falsafi adalah istilah kabur yang menimbulkan tahsilul hasil.

Tidak sedikit dari para pemikir yang berpendapat bahwa banyak dari kalangan kaum sufi yang mempunyai jiwa filusufis seperti pendapat Abul Wafa al-Ghunaimi yang berkata ” tasawuf keagamaan kadangkala beraduk dengan filsafat sebagaimana keadaan sebagian rohaniin nasrani dan para sufi muslim” selanjutnya dia berkata ” para tokoh filsafat sejak dahulu sangat membutuhkan pada masing-masing dari ilmu pengetahuan dan tasawuf, karena jiwa sufiah itulah yang menjadi sumber ilham paling agung tehadap manusia ” kemudian dia menyebutkan beberapa tokoh filsafat seperti Herceltees, Plato dan Barmendis.[4]

Dari sini istilah tasawuf falsafi perlu dikaji kembali, baik dengan arti wahdatul wujud atau dengan arti hikmah dan isyraq.

Wahdatul syuhud bukan wahdatul wujud

Wahdatul wujud dengan arti falsafi adalah meyakini wujudnya Allah dan wujudnya makhluk itu satu, disitu bila ada pencipta maka suatu yang diciptakan juga ada, dengan arti, wujudnya makhluk adalah bagian dari wujudnya khaliq (pencipta), karena apa bila yang wujud itu hanya pencipta saja tanpa adanya yang diciptakan maka wujudnya pencipta tadi tidak sempurna. Falsafah semacam ini memberi pengertian bahwa wujudnya makhluk itu kodim (terdahulu), sebab kalau memang wujudnya makhluk itu sama dengan wujudnya Allah maka disaat dzatnya Allah kodim maka dzatnya makhluk juga kodim. Dan hal ini tidak bisa diterima oleh akal dan tidak dapat dicerna oleh logika ilmiah.

Pemikiran yang logis dalam masalah ini adalah kita mengetahui bahwa wujud yang sesungguhnya hanyalah wujudnya Dzat Allah, kemudian dengan kehendak dan kekuasaanya Allah menciptakan dunia dan seisinya ini wujud sesuai batasan dan ukurannya, jadi wujud yang azali dan Qadim itu hanya wujudnya Allah, sedangkan wujudnya makhluk itu hanya sekedar wujud majazi yang oleh ulamak diistilahkan dengan wujud dzilli (bayangan) atau tabii. Bayangan itu mempunyai wujud tersendiri dari benda aslinya hanya saja kalau benda itu tiada maka bayangan itu tiada, jadi wujudnya bayangan itu adalah buah atau hasil dari benda itu.[5]

Contoh lebih jelasnya abarat seseorang yang memegang anaknya yang masih kecil agar bisa berdiri ditelapak kakinya, berdirinya anak tadi tentu bukan berdirinya sibapak akan tetapi kekuatan dia berdiri berasal dari kekauatan bapaknya, begitu pula dahan dan rantng pepohonan dengan batang dan akarnya, jelas wujudnya ranting bukan wujudnya batang akan tetapi wujudnya ranting tadi berasal dari wujudnya batang.

Adapun yang dimaksud wahdatul wujud menurut para sufi itu adalah istilah lain dari wahdatu shuhud, yaitu tidak memandang sesuatu selain Allah dan itulah puncak dari tawakkal dan tsikah seseorang pada Allah, dia tidak mengharap kecuali pada Allah dan dia tidak takut kecuali pada Allah, dia menganggap bahwa Allahlah yang wujud sedangkan wujud selain Allah adalah wujud yang fatamorgana. Hal ini sama dengan kata-kata labib[6] yang dibenarkan oleh Rasulullah SAW.

Adakalanya sebagian sufi mengartikan wahdatul wujud atau wahdatu syuhud dengan arti penyatuan cinta antara muhib dan mahbub, sehingga yang ada dalam benaknya hanya sang kekasih, sang pecinta tidak mengenal apapun selain kekasihnya termasuk dirinya sendiri seperti yang terjadi dalam kisah cinta abadi laila majnun, disaat seseorang memanggil nama Qais dia tidak menghiraukannya dan bahkan dia berkata ”aku laila”. Begitupula seorang hamba yang hatinya diliputi oleh rasa cinta pada sang pencipta maka dia lupa pada segala sesuatu termasuk dirinya sendiri, itulah yang dalam istilah tasawuf disebut Fana’. Dan hal ini bukan dalam kekuasaan akal, akan tetapi dapat dirasakan oleh jiwa atau ruh. Inilah yang oleh Imam al-Ghazali disitilahkan dengan ilmu Dzauq.

Bersama al-Ghazali dan al-Hallaj

Akan tetapi kadang masih ada pertanyaan kenapa al-Hallaj dipancung? Dan Imam Abu Hamid al-Ghazali sendiri sebagai tokoh tasawuf sunni malah terkesan mengamini ajaran wahdaul wujud dengan arti falsafi tadi?

Al-Hallaj sebagaimana kebanyakan para sufi telah menjadi tumpuhan masyarakat, ketulusannya membuat orang-orang banyak yang simpati. Sedangkan sikap politik al-Hallaj waktu itu sebagaimana para sufi lainnya lebih cendrung pada Ahlul Bait. Dan Ahlul Bait sendiri waktu itu sedang berusaha melakukan aksi politik terhadap penguasa dinasti Abbasiah. Hal itulah yang membuat al-Hallaj harus disingkirkan menurut pandangan para penguasa, sebab pengaruh al-Hallaj telah mengancam kekuasaannya. Itulah yang memotifasi dipancungnya al-Hallaj.

Dari kata-kata al-Hallaj sendiri sangat jelas masalah itu, disaat beliau dihadapkan pada hakim dengan tuduhan akidahnya yang wahdatul wujud beliau menjawab ” apakah kalian masih mau mendebatku tentang Allah dan dijubbah ini tidak ada selain Allah?!!!” beliau juga berkata ” sesembahan kalian berada dibawah telapak kakiku” dengan kata-kata ini al-Hallaj bermaksud untuk mengejek mereka yang menjadi budak serta hamba penguasa.[7]

Sedangkan Imam al-Ghazali yang dituduh beraliran wahdatul wujud gara-gara kata-katanya dalam kitab Misykat al-Anwar ” tidak ada wujud hakiki selain Allah dan sesuatu itu berasal dari Allah” ” alam wujud ini tidak ada selain Allah dan atsarnya (bekasnya), dan dunia ini semuanya dari atsarnya” itulah kata-kata Imam al-Ghazali yang dianggap bahwa dia telah mengamini ajaran wahdatul wujud, padahal dalam kitab itu sendri beliau dengan jelas menafikan ajaran wahdatul wujud secara falsafi, beliau berkata dalam kitab tersebut ” Allah bersama sesuatu itu sama dengan cahaya bersama sesuatu” beliau juga berkata ” Allah itu bersama sesuatu, sebelum sesuatu, diatas segala sesuatu dan madzhar dari segala sesuatu” kata-kata al-Ghazali ini jelas bertentangan dengan logika ajaran wahdatul wujud.

Kesimpulan

Ajaran wahdatul wujud dengan arti falsafi yang pernah di gembar gemborkan para filusuf klasik kemudian diangkat kembali oleh Saren Carecajored dengan madzhab wujudinya di Barat sama sekali tidak ada hubungannya dengan tasawuf. Dan kata-kata sebagian para tokoh tasawuf yang mereka katakan dalam keadaan mengalami ekstasi juga tidak bisa diambil dari dhahir kata-kata mereka. Oleh sebab itulah Dr. Abdul Halim Mahmud berkata, akal tidak bisa menerima disaat seorang insinyur berbicara masalah sastra sebagaimana seorang sastrawan menghukumi para insinyur, begitu pula sangat tidak logis seseorang yang masih belum mencapai derajat al-Hallaj, Ibnu Arabi, dan Ibnu Farid kemudian menfonis yang bukan-bukan pada mereka. Wallahu a’lam.

* ketua pusat studi dan kajian Islam al-Ghanna, Jakarta
________________________________________
[1] Bukan Suhrawardi pengarang kitab ‘Awariful ma’arif Abu Hafs al-Suhrawardi 633 H. dan gurunya yang bernama Abu Najib al-Syuhrawardi 563 H.
[2] Frof. Abdul Wahab sirril khutm Ahmad, Attasawuf fil al-Quran al-Karim wa Sunnah al-Mutahharah, hal 40.
[3] Ibid.
[4] Ibid
[5] Istilah tabii lebih selamat menurut Dr. Al-Buti, sebab bayangan selalu ikut pada benda disetiap waktu sehingga kadang memberi pemahaman seperti pemahaman yang sesuai dengan faham hulul. Hanya saja keserupaan bayangan hanya dari satu arah bukan dari semua arah.
[6] Ala kullu sya’i ma khala Allahu batilu. Lihat Dr. Al-Buti, Hadza walidi. Hal 115.
[7] Frof. Abdul Wahab sirril khutm Ahmad, Attasawuf fil al-Quran al-Karim wa Sunnah al-Mutahharah. Hal 60