Hikmah Alawiyah
Image default
Kolom Tamu

Ilmu Modern: Adaptasi Umat Islam Harus Mendukung Pembangunan Manusia dan Lingkungan

Oleh: Alwi Shihab

Hari ini, dunia Muslim yang berhubungan dengan ilmu pengetahuan modern menghadapi sejumlah tantangan baik secara material, intelektual maupun spiritual.

Berbicara tentang sikap Islam terhadap ilmu pengetahuan modern, akan muncul pertanyaan penting, yakni, apakah ada pemahaman Islam tentang bagaimana manusia harus berhubungan dan memperlakukan lingkungan, atau lebih spesifik apakah sikap Islam terhadap dunia sama sekali berbeda bila dibandingkan dengan sikap materialis? Tampaknya menjadi perbedaan yang besar.

Bagi umat Islam serta bagi orang yang beriman, dunia memiliki makna lebih dari sekedar materi, dia memiliki makna yang lebih tinggi bagi mereka yang mampu memahaminya.

Bagi umat Islam, dunia dan segala isinya merupakan sumber utama untuk memahami Tuhan. Karenanya, untuk memahami hakikat dunia dan bagaimana kita harus berinteraksi dan berperilaku dengan baik, kita harus tahu hubungannya dengan sang Penciptanya, Allah.

Sebaliknya, orang-orang yang tidak beriman akan memperlakukan dunia hanya sebagai obyek, sebagai sesuatu yang harus dieksploitasi, digunakan dan diubah sesuai dengan kehendak manusia. Dengan kata lain, memperlakukan alam sedemikian rupa sehingga dapat ditafsirkan sebagai alat untuk mencapai tujuan. Alam perlu ditundukkan di bawah otoritas manusia dan kekuasaannya untuk bisa dianggap bernilai.

Terkadang, sikap demikian terhadap alam ini dihubungkan dengan mentalitas Renaisans dan Enlightment Eropa, gerakan budaya yang cenderung mengagungkan kemanusiaan di atas segalanya dan menekankan pentingnya individualisme.

Kritik Islam terhadap Ilmu Modern

Berbicara tentang sikap Islam terhadap ilmu pengetahuan modern, kita tidak bisa meninggalkanb kritik menarik Seyed Hossein Nasr terkait ini. Menurut Nasr, ilmu pengetahuan modern menampilkan pergeseran radikal dari gagasan tradisional scientia –pergeseran dari penilaian alam yang suci kepada kerangka yang sekular dan profan di mana kuantitas murni dianggap sebagai realitas. Dengan pandangan baru ini, alam dibebaskan dari makna simbolis yang sakral, dan ilmuwan menjadi wasit tunggal kebenaran. Bagi Nasr, krisis legitimasi ilmu pengetahuan modern berasal dari perspektif baru dan alien yang telah menyebabkan, antara lain, bencana global seperti krisis lingkungan dan perang nuklir.

Lima ciri utama ilmu pengetahuan modern di bawah ini mendapatkan analisis kritis dari Nasr. Pertama, pandangan sekuler alam semesta yang tidak melihat jejak Tuhan dalam tatanan alam. Kedua, mekanisasi gambaran-dunia mengikuti model mesin dan jam. Sekali dilibatkan dalam relasi mekanis, alam menjadi sesuatu yang secara mutlak dapat ditetapkan dan diprediksi –zona aman yang sangat dibutuhkan oleh kebangkitan masyarakat industri modern dan kapitalisme. Ketiga, rasionalisme dan empirisme. Keempat, warisan dari dualisme Cartesian yang mengandaikan pemisahan antara res cogitans dan res extensa, yaitu antara subjek yang mengetahui dan objek yang diketahui. Kelima, sebagai puncak dari karakteristik-karakteristik di atas, yakni eksploitasi alam sebagai sumber kekuasaan dan dominasi –sebuah fakta yang tidak tidak diketahui oleh masyarakat kapitalis modern.

Dengan lahirnya Revolusi Ilmiah, muncul cara yang benar-benar baru dalam memandang dunia. Alam tidak lagi dipahami sebagai ‘ada’ yang sakral yang memiliki siklus dan kesatuan hidupnya sendiri dan tidak untuk dihancurkan oleh nafsu manusia untuk membangun surga yang fana di bumi.

Menjauhnya sudut pandang terhadap alam dari agama menandai inkubasi sekularisme modern yang menjelaskan seluruh dimensi alam dengan meringkasnya hanya sebagai kuantitas murni dan mesin yang tak berjiwa.

Bagi Nasr, pandangan sekuler terhadap alam semesta ini mendasari karakteristik ilmu pengetahuan modern yang paling penting. Sekali dipahami sebagai kuantitas murni, alam semesta menjadi tidak memiliki makna intrinsik; aspek kualitatif yang terkait dengan fenomena alam seperti keindahan, harmoni, telos (tujuan universal).

Pandangan ini memiliki implikasi penting bagi apa yang disebut ‘fakta telanjang’, mantra bagi kaum positivis, yang menggantikan suposisi metafisik dan filosofis ilmu pengetahuan pra-modern dengan ‘fakta’ fenomena alam. Ini kemudian mempertanyakan salah satu premis fundamental pandangan sekuler terhadap alam semesta bahwa ‘fakta telanjang’ ilmu pengetahuan tidak menyisakan ruang untuk kebenaran agama/spiritual atau artistik dan bahwa apa yang ada dalam alam semesta tidak lebih dari agregat unsur kimia dan biologi.

Ajaran Islam tentang Lingkungan

“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada perubahan pada fitrah Allah.”[1]

Dalam ayat ini, al-Quran menyinggung bahwa, manusia sebagai ciptaan dari tangan kreatif Allah adalah murni, tidak berdosa, dan cenderung kepada kebenaran dan kebajikan dan diperlengkapi dengan pemahaman yang benar tentang posisinya di hadapan alam semesta dan tentang kebijaksanaan dan kekuasaan Allah.

“Allah-lah yang meninggikan langit tanpa tiang (sebagaimana) yang kamu lihat, Kemudian dia bersemayam di atas ‘Arasy, dan menundukkan matahari dan bulan. masing-masing beredar hingga waktu yang ditentukan. Allah mengatur urusan (makhluk-Nya), menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya), supaya kamu meyakini pertemuan (mu) dengan Tuhanmu. Dia-lah Tuhan yang membentangkan bumi dan menjadikan gunung-gunung dan sungai-sungai padanya. dan menjadikan padanya semua buah-buahan berpasang-pasangan, Allah menutupkan malam kepada siang. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan.”[1]

“Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi” [1]

Ayat ini merupakan perintah yang jelas untuk tidak menimbulkan kerusakan di muka bumi, salah satunya adalah memperlakukan alam dengan cara yang baik sebagai bagian dari ciptaan Allah. Eksploitasi alam untuk tujuan mendominasi bertentangan dengan kehendak Allah.

“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).”[1]

Ayat ini merupakan peringatan tegas Allah bahwa seluruh kerusakan atau korupsi pada alam adalah perbuatan jahat dan karenanya manusia harus bertaubat.

Akar dari praktik lingkungan Islam dapat ditemukan dalam al-Qur’an dan bimbingan (sunnah) dari Nabi Muhammad. Pandangan dunia Islam didasarkan pada keyakinan keberadaan sang pencipta yang Maha Kuasa. Muslim belajar dari al-Qur’an bahwa Allah menciptakan alam semesta dan setiap atom dan molekul yang menyusunnya dan bahwa hukum penciptaan mencakup unsur kekeraturan, keseimbangan dan proporsi:

“Dia telah menciptakan segala sesuatu, dan dia menetapkan ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya.”[1]

“Dialah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya tempat-tempat bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui.”[1]

Kondisi manusia tidak pernah lepas dari tatanan alam. Seluruh ciptaan Allah harus selalu direnungkan oleh manusia, seperti udara yang masuk ke dalam paru-paru ketika bernafas. Al-Qur’an juga meminta kita untuk bersikap adil dan bijaksana terhadap alam sekitar.

“Tidaklah Kami ciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya, melainkan dengan benar. dan Sesungguhnya saat (kiamat) itu pasti akan datang, Maka maafkanlah (mereka) dengan cara yang baik.”[1]

Ciptaan atau alam semesta merupakan tanda-tanda (ayat) Allah. Istilah ini (ayat) juga digunakan untuk merujuk bagian-bagian dalam al-Qur’an. ‘Ayat’ berarti tanda, simbol atau bukti ilahiah. Al-Qur’an merupakan bukti keberadaan Allah, demikian juga ciptaan-Nya.

“Tuhanmu mewahyukan kepada lebah: “Buatlah sarang-sarang di bukit-bukit, di pohon-pohon kayu, dan di tempat-tempat yang dibikin manusia.

Kemudian makanlah dari tiap-tiap (macam) buah-buahan dan tempuhlah jalan Tuhanmu yang Telah dimudahkan (bagimu). dari perut lebah itu ke luar minuman (madu) yang bermacam-macam warnanya, di dalamnya terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusia. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Tuhan) bagi orang-orang yang memikirkan.”[1]

Alam semesta yang kita huni ini merupakan tanda ciptaan Tuhan, demikian juga merupakan lingkungan dari bagian diri kita yang terdalam. Keduanya berasal dari Satu Sumber dan terikat oleh hanya satu tujuan, yaitu untuk melayani kehendak ilahi. Ikatan kosmik terhadap subatomik ini merupakan ekologi Islam yang sangat dalam akan tetapi bukan merupakan hubungan yang sama seperti yang kita lihat dalam hirarki rantai makanan yang dikuasai oleh manusia. Sedangkan, hubungan yang utama adalah antara Pencipta dan ciptaan-Nya. Sang Pencipta sendiri menentukan, bahwa antara Manusia dan seluruh ciptaan-Nya yang mendefinisikan Al-Qur’an sebagai berikut:

“Dialah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu…”[1]

“Tidaklah kami ciptakan langit dan bumi dan segala yang ada di antara keduanya dengan bermain-main.”[2]

“Kami tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada antara keduanya tanpa hikmah.”[3]

“Tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu.”[4]

Sekali lagi, al-Qur’an menggunakan tema lingkungan dalam menasihati umat manusia untuk bersikap moderat;

“Dialah yang menjadikan kebun-kebun yang berjunjung dan yang tidak berjunjung, pohon korma, tanam-tanaman yang bermacam-macam buahnya, zaitun dan delima yang serupa (bentuk dan warnanya) dan tidak sama (rasanya). Makanlah dari buahnya (yang bermacam-macam itu) bila dia berbuah, dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (dengan disedekahkan kepada fakir miskin); dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan.”[1]

Kaum Muslim yang mengikuti Nabi dan berusaha mengungkapkan doktrin Tuhan, para ahli hukum mendekati masalah ini dengan ketekunan dan merumuskan dasar etika yang diambil dari ajaran-ajaran dalam al-Qur’an –yang disebut dengan kemashlahatan umum (al-Masalih al-mursalah) merupakan tujuan utama dan akhir. Umat Islam diperintahkan untuk melakukan apa yang benar, mencegah apa yang salah dan bertindak dengan sikap moderat setiap saat:

“Hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.”[1]

Selain panduan jelas al-Qur’an dan Hadits tentang lingkungan, perlu juga mengambil pelajaran dan inspirasi dari salah satu kepribadian besar Islam: Imam ‘Ali Zainal ‘Abidin bin Husin bin ‘Ali bin Abi Thalib, dalam hal berikut ini:

Di antara sekian banyak jenis hak yang dijelaskan, Abidin Imam Zainal mengedepankan hak-hak seseorang atas penguasa. Dalam konteks ini hak-hak tersebut dapat diperluas untuk membentuk suatu sistem nilai bagi pembentukan etika terhadap lingkungan atau aspek lain dunia di mana manusia memiliki kekuatan atau kekuasaan atasnya.

Risalah al-Huquq yang ditulis oleh sang Imam menjelaskan hak-hak yang dimiliki oleh seseorang atas penguasa melalui aspek pengetahuan penguasa. Menyamakan pengetahuan dengan intelejensi, manusia diberkahi dengan kecerdasan lebih tinggi dari pada ciptaan lain. Karena itu, manusia harus berperan

sebagai penjaga dan pelindung dari ciptaan lain dan berinteraksi dengan alam semesta dengan cara yang layak menurut kecerdasannya. Jika manusia melakukan apa yang sesuai dengan tingkat kecerdasannya, maka Allah akan meningkatkan karunia-Nya kepada manusia. Jika sebaliknya, maka apa yang telah dianugerahkan Allah akan diambil kembali. Imam Zaynal Abidin menyatakan sebagai berikut:

“Hakmu melalui pengetahuanmu adalah bahwa Kamu harus tahu bahwa Allah telah menciptakan untukmu seorang penjaga hanya melalui pengetahuan yang telah Dia berikan dan bukakan kepadamu. Jika Kamu melakukannya dengan baik…, tidak memperlakukan mereka dengan kasar atau mengganggu mereka, maka Allah akan meningkatkan karunia-Nya terhadapmu. Tapi jika Kamu… memperlakukan mereka secara kasar…, maka akan menjadi hak Allah untuk mencabut darimu pengetahuan dan kemegahan dan membuatmu jatuh dari tempatmu…”[1]

Sebagai kesimpulan, Deklarasi Assisi Muslim[2] tentang Alam Semesta menyatakan:

“Konsep sentral Islam adalah Tauhid atau Keesaan Tuhan. Allah itu Esa, dan Keesaan-Nya juga tercermin dalam kesatuan umat manusia, dan kesatuan manusia dan alam semesta. Manusia sebagai khalifah-Nya di bumi bertanggung jawab untuk menjaga kesatuan ciptaan-Nya, integritas bumi, flora dan fauna, satwa liar dan lingkungan alam. Kesatuan tidak dapat diperoleh dengan perselisihan, dengan menetapkan satu kebutuhan terhadap yang lain atau membiarkan salah satu mendominasi yang lain, melainkan dikelola dengan keseimbangan dan harmoni. … Islam merupakan jalan yang berada di tengah atau moderat dan kita akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang telah kita lakukan, bagaimana kita mempertahankan keseimbangan dan harmoni dalam seluruh ciptaan di sekitar kita.”

Apa yang harus dilakukan: Mengembalikan Ilmu Pengetahuan ke Filsafat
Seperti ditekankan oleh Nasr, umat Islam harus mengembalikan ilmu pengetahuan kepada filsafat dan meletakkannya dalam acuan prinsip-prinsip metafisika Islam. Wahyu, selain memberikan petunjuk dalam kehidupan sosial dan artistik peradaban Islam, dia juga memberikan arahan kepada pemahaman atas lingkungan alam dan penelitian ilmiah. Ajaran tauhid, prinsip yang paling penting dalam Islam, menegaskan kesatuan Prinsip Ilahi, dan diproyeksikan ke dalam ranah ilmu alam sebagai kesatuan esensial dan keterkaitan tatanan alam. Sebuah ilmu bisa dinyatakan sebagai Islami selama dia sesuai dengan dan mencerminkan prinsip-prinsip utama pandangan dunia Islam. Dalam cara yang sama, Nasr menegaskan bahwa ‘tujuan dari seluruh ilmu-ilmu Islam –dan lebih umum, dari semua ilmu kosmologi abad pertengahan dan klasik- adalah untuk menunjukkan kesatuan dan keterkaitan dari semua ‘ada’, sehingga, dalam merenungkan kesatuan kosmos, manusia dapat menyandarkannya kepada kesatuan Prinsip Ilahi di mana kesatuan Alam merupakan gambaran darinya.

Dengan demikian ilmu-ilmu Islam memiliki dua fungsi. Pertama, mereka melihat alam sebagai satu kesatuan dan seluruh bagian-bagiannya saling berhubungan satu sama lain. Kedua, mereka dimaksudkan untuk memimpin baik ilmuwan dan orang awam untuk perenungan Alam sebagai ciptaan Ilahi yang suci. Bagi Nasr, kosmologi suci kaum Sufi, yang didasarkan pada metafisika dan inspirasi ketimbang ilmu-ilmu fisik per se, berkaitan dengan fungsi kedua dari ilmu-ilmu alam, dan mempertahankan keabsahannya bahkan saat ini karena didasarkan pada makna simbolis dari kosmos.

Dengan definisi di atas, ilmu-ilmu Islami atas alam semesta tidak bertujuan sebagai sarana untuk mendapatkan kekuasaan dan dominasi atas alam. Aspek kontemplatif mereka, berakar pada ajaran al-Qur’an tentang alam serta dalam kosmologi tradisional, mengikat mereka dengan metafisika di satu sisi, dan seni di sisi lain. Dengan demikian, seperti yang ditekankan oleh Nasr, filsafat, selain metafisika dan estetika, memainkan peran penting yang tidak dapat digantikan oleh ilmu pengetahuan lainnya. Filsafat berkaitan dengan dunia kehidupan di mana kita hidup, termasuk lingkungan fisik, dan karena itu tidak bisa tidak memperhatikan aspek pemahaman sesungguhnya dari alam semesta dan kosmos.

Sebuah ilmu yang diletakkan dalam acuan yang dapat memberikan bimbingan yang tepat dan perspektif untuk pengembangannya tidak hanya akan berfungsi sebagai dasar untuk memimpin kehidupan manusia di dunia ini menuju kebahagiaan di dunia dan akhirat tetapi juga dapat membawa kebaikan dan manfaat besar bahkan dalam dalam pengejaran pragmatis dan fisik kita atas planet bumi ini.

Jika kita menerima semua proposisi di atas dan bertekad untuk mengubah pemikiran kita sedemikian rupa sehingga kita menerima bahwa dunia harus dilihat dengan cara yang khusus, yakni sebagai representasi dari Allah dalam materi dan bahwa kita adalah khalifah sehubungan dengan itu, maka kita harus bertanya kepada diri sendiri, bagaimana kita bisa mewujudkan prinsip ini dalam kehidupan. Bagaimana kita menjadi Muslim tidak sekedar pada level nama. Salah satu jawaban adalah dengan memahami bahwa prinsip-prinsip dasar Islam penuh dengan makna spiritual yang perlu direfleksikan secara mendalam. Peradaban besar masa lalu Islam dibangun di atas prinsip dan pemahaman ini.

Dalam hal ini, kita harus menemukan kembali kemampuan dan semangat untuk mengembangkan pengetahuan dan inovasi sebagaimana telah berhasil dilakukan oleh para pendahulu kita. Dalam naungan keimanan, umat Islam telah memiliki tradisi inovasi dan semangat penemuan yang kaya –dan kita harus merebut kembali warisan ini. Di atas semua itu, kita membutuhkan kepemimpinan visioner, yang bisa melihat jauh ke depan dan, pada saat yang sama, mampu mengarahkan bangsa menuju masa depan yang dicita-citakan yang sejalan dengan doktrin Tauhid.

[1] Zain al Abideen, “The Psalms of Islam. London; Mohammadi Trust”, 1988, hlm.286.
[2] The Assisi Declarations: Messages on Humanity and Nature from Buddhism, Christianity, Hinduism, Islam & Judaism Basilica di S. Francesco Assisi/Italy, WWF 25th Anniversary, 29 September 1986.
[2] Surah al-Rum [30]:30
[3] Surah Al-Ra’d [13]:2-3[4] Surah Al-Baqarah [2]:11
[5] Surah Al-Roem [30]:41
[6] Surah Al-Furqan [25]:2
[7] Surah Yunus [10]:5
[8] Surah Al-Hijr [15]:85
[9] Surah al-Nahl [16]:68-69
[10] Surah Al-Baqarah [2]:29
[11] Surah Al-Anbiya [21]:16
[12] Surah Shad [38]:27
[13] Surah Al-Maidah [5]:48
[14] Surah Al-An’am [6]:141
[15] Surah Ali ‘Imran [3]:104